Wa’ilah, Isteri Nabi Luth

Senin

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth menjadi perumpamaan bagi orang-orang yang ingkar. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang soleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri itu berkhidmat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya).” Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (At-Tahrim: 10)

Dalam perjalanan hidup seorang nabi, apabila ia mendapati kebenaran yang datang dari Allah, keluarga terdekatnyalah yang terutama mesti ia seru terlebih dahulu. Orang yang paling dekat dengannya tentu saja memperoleh kesempatan paling besar untuk menerima seruannya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan isteri Nuh dan anaknya. Meskipun keduanya adalah orang-orang yang paling dekat dengan beliau, mereka termasuk golongan yang ingkar akan kebenaran Allah dengan enggan beriman.

Begitu pula wanita yang satu ini, isteri salah seorang dari nabi Allah, yakni isteri Luth as. Luth adalah seorang nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada kaumnya di Sadom, sebuah negeri besar yang mempunyai banyak kota, sedangkan penduduknya tenggelam dalam arus kemaksiatan. Rakyat Negeri Sadom ketika itu berserikat dan bahu-membahu dalam perbuatan dosa yang mengaibkan.

Nabi Luth diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya itu, termasuk kepada isterinya sendiri. Berkata Nabi Luth kepada mereka seraya mengingatkan: “Mengapa kamu melakukan perbuatan tercela itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun di dunia ini sebelummu? Kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 80-81)

Memang, kaum Nabi Luth ketika itu berada pada tingkat kebinatangan yang paling rendah, kebejatan akhlak yang paling parah, dan tidak ada manusia seburuk mereka sebelumnya. Mendengar seruan Nabi Luth, seruan seorang nabi Allah yang juga pernah didengar oleh kaum-kaum lain sebelum mereka, rakyat Negeri Sadom merasa terusik kesenangannya. Mereka tidak tinggal diam setelah mendengar seruan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth. Mereka terus berfikir, mencari jalan bagaimana agar Nabi Luth tidak dapat mengumandangkan seruannya kembali. Ketika, mereka tengah duduk berfikir, tiba-tiba datang seorang perempuan tua menghampiri mereka. Sebenarnya, sudah lama perempuan tua itu mendengar rencana kaum Luth itu, dan ia tersenyum bangga mendengar rencana itu.

“Akan kutunjukkan kepada kalian, suatu lubang yang dapat menghalangi seruan Luth,” ujar perempuan tua itu dengan wajah penuh keyakinan. “Lubang yang mana itu?” tanya mereka dengan keinginan yang penuh harap.

“Tidak akan kukatakan hal itu, kecuali aku mendapat sekeping perak sebagai upahnya,” sahut si perempuan tua.

Tak seorangpun dari keturunan kaum Luth itu yang merasa marah atau heran mendengar ucapan perempuan tua yang terkenal mata duitan dan sifat lobanya itu. Salah seorang dari mereka memasukkan tangannya ke dalam sakunya; kemudian mengambil sekeping perak dan diberikannya kepada perempuan tua itu. Dengan senyum kemenangan, perempuan tua itu cepat mengambil dan menyembunyikan kepingan perak itu di dadanya. “Kalian dapat membatalkan seruan Luth melalui isterinya!” Kata perempuan itu kemudian.

Terbelalaklah mata kaum Luth ketika mendengar ucapan itu. Mereka semakin mendekatkan telinga masing-masing ke mulut perempuan penipu itu dengan penuh harapan.

“Bagaimana caranya?” Tanya mereka serentak.

“Kalian harus bekerjasama dengan isteri Luth untuk menghentikan seruannya kepada kalian.”

Dengan kesal, salah seorang dari mereka berteriak. “Kami tidak ada urusan dengan isteri Luth!”

Dengan wajah marah, perempuan tua itu kembali berkata: “Aku lebih mengerti hal itu daripada kalian!”

“Kalau begitu,” sela salah seorang yang lain. “Apa peranan isteri Luth dalam hal ini?”

“Dengar baik-baik. Peranan isteri Luth sama seperti perananku bagi kalian sekarang ini,” jawabnya.

“Jadi, apakah kamu berharap agar isteri Luth dapat menunjuki kami, siapa orang-orang yang dapat memenuhi keinginan kami, sebagaimana yang engkau lakukan kini?” tanya salah seorang dari mereka. Dengan kedua mata yang bersinar, disertai kegembiraan haiwani, perempuan tua berlalu sambil bergumam, “Ya… ya…”

Isteri Nabi Luth sedang menyelesaikan sebahagian pekerjaannya ketika terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Segera ia berlari, membukakan pintu. Dan seorang perempuan tua tiba-tiba berada di hadapannya. Dengan tergopoh-gopoh perempuan tua itu lalu berkata: “Hai, anakku, adakah seteguk air yang dapat menghilangkan dahaga yang kurasakan ini?”

“Silakan masuk dahulu,” jawab Wa’ilah, isteri Nabi Luth, dengan lembut.” Akan kuambilkan air untukmu.”

Perempuan tua itu kemudian duduk menunggu, sementara Wa’ilah masuk ke dapurnya. Tak lama kemudian, Wa’ilah kembali dengan membawa bekas yang penuh berisi air untuk tamunya itu. Dengan lahap, si perempuan tua segera meneguk habis air di bekas tersebut, dan kemudian melepas nafas dengan lega.

“Kami hidup bersama suamiku, Luth namanya, dan dua anak perempuanku,” jawab Wa’ilah.

Perempuan itu kemudian memalingkan wajahnya ke sekeliling rumah yang kecil itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan prihatin akan apa yang dilihatnya. Dengan wajah yang memperlihatkan kesedihan, perempuan tua itu berkata: “Aduhai, apakah kesengsaraan menimpamu, Anakku?”

“Aku tidak sengsara, bahkan rumah ini cukup bagi kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku makan dan minum bersama kedua puteriku,” jawab Wa’ilah.

Perempuan tua penipu itu lebih mendekat kepada isteri Nabi Luth sambil berkata: “Dapatkah ruangan seperti ini disebut rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau rasakan ini disebut makanan atau minuman?”

Wa’ilah terpegun mendengar ucapan perempuan tuan itu. Dengan penuh keheranan, ia kemudian bertanya. “Kalau begitu, apa yang selama ini kumakan dan kuminum?”

Cepat-cepat perempuan tua itu berkata: “Panggillah aku dengan sebutan ibu. Bukankah kedudukanku seperti ibu saudaramu?” Kemudian ia menyambung lagi. “Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang membawa kemalangan bagimu, hai anakku. Mengapa kamu tidak masuk ke rumah orang-orang kaya di antara kaummu. Tidakkah kamu melihat kehidupan mereka yang penuh kemegahan, kesenangan, dan kenikmatan…? Kamu berparas cantik, hai anakku. Tidak layak kamu membiarkan kecantikanmu itu dalam kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu sedari bahwa kamu tidak mempunyai anak lelaki yang dapat bekerja untuk memberimu makan kelak apabila suamimu meninggal dunia?”

Wa’ilah, isteri Nabi Luth, mendengarkan dengan saksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya, ucapan itu telah membuatnya terlena sambil merenung atap rumahnya. Sesekali ia perhatikan perempuan tua yang semakin mengeraskan suaranya yang penuh nada kesedihan dan kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba Wa’ilah merasakan pelukan perempuan tua itu di bahunya.

Ketika perempuan tua itu menghentikan pembicaraannya, isteri Nabi Luth memandang kepadanya sambil berusaha meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi si perempuan tua tidak memberinya kesempatan untuk berfikir, bahkan ia mulai menyambung pembicaraannya dengan berkata: “Hai, anakku, apakah yang dikerjakan suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri Sadom dan kampung-kampung kecil di sekelilingnya?

Sesungguhnya orang-orang di sini menginginkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai dengan yang mereka kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat menjadi sumber penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mahu membantu mereka. Lihatlah! Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak ini! Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah kuperolehi. Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah `cantik’ yang datang dari kota. Sedangkan kamu… di rumahmu sering datang beberapa pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu.

Ya, suamimu yang seruannya diperolok-olok oleh kaum kita. Pekerjaan semacam ini sebenarnya tidak memberatkan kamu. Suruhlah salah seorang puterimu menemui sekelompok kaum kita dan memberitahu mereka akan adanya lelaki tampan di rumahmu. Dengan demikian, engkau akan memperoleh emas atau perak sebagai hadiahnya setiap kali engkau kerjakan itu. Bukankah pekerjaan itu amat mudah bagimu? Dengan itu, engkau bersama puteri-puterimu dapat merasakan kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian kehendaki.”

Sambil mengakhiri ucapannya, perempuan tua itu meletakkan dua keping perak di tangan Wa’ilah, dan kemudian segera keluar. Isteri Nabi Luth duduk sambil merenungkan peristiwa yang baru terjadi itu tentang keadaan pekerjaan yang dicadangkan oleh si perempuan tuan. Dan… ia kebingungan sambil berputar-putar di sekitar rumahnya. Suara perempuan tua itu masih terngiang-ngiang di telinganya, sementara di tangannya terselit dua keping perak. Wa’ilah dibayangi keraguan apakah sebaiknya ia terima saja saranan perempuan tua itu. Tetapi, apa yang akan dikatakan orang nanti tentang dirinya jika hal itu ia lakukan; bahwa isteri seorang yang mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan kebajikan, ternyata, menolong kaumnya dalam melakukan kebatilan.

Tiba-tiba datang suara yang membisikkan ke telinganya: “Perempuan tua itu telah menasihatimu. Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu. Kamu tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan lagi pekerjaan yang dicadangkan perempuan tua itu sama sekali tidak memberatkanmu. Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan tamu-tamu suamimu, Luth. Lekaslah… lekaslah… nanti akan kukatakan… lekas, supaya engkau memperoleh kekayaan dan kenikmatan… Cepatlah…!” Dan tiba-tiba, tanpa ragu-ragu, Wa’ilah berkata: “Baiklah, kuterima…”

“Kalau begitu, selamat kuucapkan kepadamu,” demikian Iblis membisikkan kepadanya.” Sesudah ini engkau akan merasakan kenikmatan di dalam kehidupanmu…”

Nabi Luth kembali kepada penduduk desa yang berada di sekitar Sadom untuk menyerukan kebenaran Ilahi sesuai dengan perintah Allah kepadanya. “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan tercela itu, yang belum pernah diperbuat oleh seorangpun di dunia ini sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian bukan kepada wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang melampaui batas.”

Perlawanan penduduk Sadom terhadap dakwah kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth kepada mereka membuat kesedihan dan kedukaan di hati Nabi Luth sendiri. Betapa kaumnya tidak mahu menerima kebenaran dan tidak menghendaki diri mereka bersih dari perangai yang hina dan merusakkan itu.

Hari demi hari berlalu. Setiap isteri Nabi Luth melihat beberapa lelaki datang ke rumahnya, ia segera memberi tahu kaumnya tentang hal itu dan setiap kali berita yang dibawanya sampai kepada kaumnya si perempuan tua datang kepadanya dengan membawa sepotong perak seraya berkata: “Jika engkau selalu menolong kami, nescaya engkau akan dapatkan terus sekeping perak, sementara suamimu tidak dapat menyeru kepadanya.” Wajah perempuan tua itu tertawa seperti tawa syaitan, kemudian pergi…

Sementara itu, seruan Nabi Luth kepada kaumnya tidak menambah apa-apa kecuali perlawanan dan kesombongan. Mereka tetap selalu berpaling dari ajakan suci itu. Bahkan mereka terus-menerus melakukan perbuatan keji tatkala Nabi Luth memperingatkan akan datangnya seksa Allah atas mereka apabila mereka tidak mahu berhenti dari kesesatannya. Mereka malah menentang Nabi Luth dengan berkata: “Datangkanlah kepada kami azab dari Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” Maka, Nabi Luth pun memohon kepada Allah, agar Allah menolongnya dari kaumnya.

Nabi Luth berdoa: “Ya, Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (Al-Ankabut: 30) Allah memperkenankan doa Nabi Luth as, dan mengutus Jibril as. untuk membinasakan mereka. Jibril datang ke Negeri Sadom dengan menyerupai dua orang lelaki yang tampan. “Dia (Luth) merasa susah dan sempit dadanya karena kedatangan mereka. Dan ia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit.” (Hud: 77)

Nabi Luth as. cemas memikirkan apa yang bakal diperbuat kaumnya jika mereka mengetahui kedatangan tamu lelaki yang berwajah `cantik’ di rumahnya. Bagaimana ia dapat mempertahankan dan memelihara mereka dari kemungkaran kaumnya? Ah, bukankah tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka, kecuali dia sendiri, dan kedua puterinya? Sebaliknya kedatangan kedua tamu Nabi Luth itu merupakan kesempatan bagi isterinya untuk menambah kepingan-kepingan perak yang biasa ia perolehi dari si wanita tua. Sekarang, ia harus mengutus seseorang kepada kaumnya untuk memberitahu mereka. Tetapi kedua puterinya sedang sibuk menyiapkan hidangan bagi kedua tamu ayahnya, atas perintah Nabi Luth. Karena keinginannya yang mendesak, isteri Luth akhirnya memberi isyarat kepada salah seorang puterinya untuk mendekat. Kemudian ia membiisikkan beberapa kalimat ke telinga anak perempuannya itu. Sesaat kemudian, sang puteri segera keluar rumah untuk memberitahu kaumnya, sebagaimana biasa.

Di tengah-tengah kerumunan orang ramai anak Nabi Luth melihat seorang perempuan tua melambaikan tangan sambil mengisyaratkan panggilan kepadanya. Segera ia mendekati perempuan itu dan memberitahu tentang dua lelaki tampan yang datang ke rumahnya.

Perempuan tua itu kemudian menyuruh ia cepat pulang, sementara kelompok lelaki menghampiri seraya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada berita baru?” Wajah si perempuan tua menampakkan senyum tipuan sambil berkata: “Kali ini tidak kurang dari empat potong emas harus kuterima.”

Dengan bersemangat kaumnya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada yang istimewa?”

Perempuan itu berkata kepada mereka, sementara ia membuka matanya lebar-lebar disertai syaitan. “Kalian akan memperoleh apa yang kalian kehendaki, iaitu dua orang lelaki yang berwajah `tampan’. Dengan wajah buas dan bernafsu, mereka bertanya dengan tidak sabar. “Di mana mereka? Di mana lelaki berwajah `tampan’ itu?

“Berikan harta kepadaku terlebih dahulu, barulah kuberi tahu kalian!” Katanya. Sebahagian dari mereka menyahut: “Wahai wanita tua, engkau yang tamak, tidak pernah kenyang!” Dan sebahagian yang lain berkata: “Inilah harta untukmu, tetapi cepat katakan, di mana lelaki yang berwajah `tampan’ itu?” Setelah tangannya menggenggam emas, berkatalah perempuan tua itu kepada mereka. “Mereka ada di rumah Luth…” Hampir-hampir kaumnya tidak mendengar ucapan perempuan tua itu dengan jelas. Tetapi, sesaat kemudian, mereka berlumba-lumba untuk segera datang ke rumah Nabi Luth. Masing-masing ingin memperoleh kepuasan dari dua lelaki `tampan’ yang ada di rumah Luth. Sesampainya mereka di sana, didapati pintu rumah Nabi Luth tertutup. Segeralah mereka mengetuk keras sambil berteriak. “Bukakan, Luth bukalah pintu-pintumu! Kalau tidak, kami terpaksa akan memecahkannya!” Isteri Nabi Luth mencuba menemui suaminya yang ternyata telah meninggalkan kedua tamunya di dalam kamar, sementara ia sendiri mendekati pintu rumahnya yang tertutup dan memisahkan dia dengan sekumpulan kaumnya. Isteri Nabi Luth mengintai dari balik tirai. Hatinya melonjak kegirangan. Sebentar lagi ia bakal memperoleh sepotong perak dari si perempuan tua, sesuai dengan kebiasaan yang telah berlangsung selama ini. Bahkan di samping itu, tanpa diketahuinya, ia mungkin bakal memperoleh pula sepotong emas sebagai bonus. Teriakan kaum Luth bertambah keras dan garang. Mereka tak sabar dan ingin memecah pintu agar dapat masuk dan menemui tamu-tamu Nabi Luth. Apakah yang akan dikatakan oleh Nabi Luth atas tindakan kebengisan yang diperbuat oleh naluri haiwan kaumnya yang rendah itu?

Nabi Luth pun berdiri terpaku; hanya pintu yang memisahkannya dari kaum durjana itu. Sesaat kemudian, Nabi Luth berkata kepada mereka demi menenangkan keadaan: “Hai, kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu. Maka, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan namaku di hadapan tamuku. Tidak adakah di antaramu seorang yang dapat menbedakan baik dan buruk. Ya, orang-orang yang berakal ketika itu telah dihinggapi fikiran-fikiran hewan yang rendah, sehingga nafsu mereka sulit dibendung.

Luth kemudian kembali menegaskan permohonannya kepada kaumnya itu, sedangkan isterinya mengintip tidak jauh dari situ. Nabi Luth menawarkan kepada mereka untuk mengawini puteri-puterinya, tetapi dengan serentak mereka menjawab: “Sesungguhnya engkau telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Sampai di sini, dialog antara Nabi Luth dan kaumnya terputus. Nabi Luth kemudian berfikir, apakah yang akan ia lakukan jika kaumnya memecah pintu rumahnya dan masuk untuk melampiaskan nafsu syaitannya kepada dua orang tamunya. Ia berdiri kebingungan, sedangkan isterinya memandangnya dengan pandangan khianat. Tiba-tiba tamu Nabi Luth berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu; sekali-kali mereka tidak dapat mengganggu engkau.” Kalau begitu, tamu-tamu Nabi Luth adalah utusan-utusan Allah yang datang untuk menimpakan azab kepada penduduk Negeri Sadom yang berbuat kerusakan itu. Mendengar semua itu, isteri Nabi Luth merasa khuatir, karena ia akan gagal memperoleh harta yang selalu diingininya itu. Kebatilan dan pelakunya memang tidak akan pernah kekal, dan kini seksa sedang menghampiri mereka. Berkata utusan-utusan Allah itu kepada Nabi Luth: “Bukakan pintu, dan tinggalkan kami bersama mereka!”

Maka, Nabi Luth pun membuka pintu rumahnya. Isteri Nabi Luth merasa cemas tatkala melihat serombongan kaumnya menyerbu masuk dengan penuh kegilaan, dan segera menuju ke arah tamu-tamu Nabi Luth. Ketika itulah, Jibril menunjukkan kelebihannya. Ia mengembangkan kedua sayapnya dan memukul orang-orang durjana itu. akhirnya, mata mereka, tanpa kecuali, buta seketika. Dengan berteriak kesakitan, mereka semua menghendap-hendap dan bingung, kemana mereka harus berjalan. Bertanyalah Nabi Luth kepada Malaikat Jibril: “Apakah kaumku akan dibinasakan saat ini juga?” Malaikat Jibril memberitahu bahwa azab akan ditimpakan kepada kaum Nabi Luth pada waktu Subuh nanti. Mendengar itu, Nabi Luth segera berfikir, bukankah waktu Subuh sudah dekat. Jibril memerintahkan Nabi Luth agar pergi dengan membawa keluarganya pada akhir malam nanti. Semua keluarga Nabi Luth pada malam itu pergi bersamanya ke luar kota, kecuali Wa’ilah. Isterinya itu bukan lagi termasuk keluarganya yang beriman kepada risalah Allah yang dibawanya. Sebaliknya, Isteri Nabi Luth justeru telah membantu orang-orang yang berbuat kerosakan, dan ia harus menerima akibatnya. Maka, turunlah azab atas dirinya, bersama semua kaum Nabi Luth yang ingkar, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Kitab Suci Al-Quran: “Maka, tatkala datang azab Kami, Kami balikkan (kota itu), dan Kami turunkan di atasnya hujan batu, (seperti) tanah liat dibakar bertubi-tubi. Diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan seksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” Maha Benar Allah lagi Maha Agung.

Sumber

FULL STORY >>

Kisah Qorun

Qarun adalah kaum Nabi Musa, berkebangsaan Israel, dan bukan berasal dari suku Qibthi (Gypsy, bangsa Mesir). Allah mengutus Musa kepadanya seperti diutusnya Musa kepada Fir’aun dan Haman. Allah telah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah yang banyak memenuhi lemari simpanan. Perbendaharaan harta dan lemari-lemari ini sangat berat untuk diangkat karena beratnya isi kekayaan Qarun. Walaupun diangkat oleh beberapa orang lelaki kuat dan kekar pun, mereka masih kewalahan.

Qarun mempergunakan harta ini dalam kesesatan, kezaliman dan permusuhan serta membuatnya sombong. Hal ini merupakan musibah dan bencana bagi kaum kafir dan lemah di kalangan Bani Israil.Dalam memandang Qarun dan harta kekayaannya, Bani Israil terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang yang beriman kepada Allah dan lebih mengutmakan apa yang ada di sisi-Nya. Karena itu mereka tidak terpedaya oleh harta Qarun dan tidak berangan-angan ingin memilikinya. Bahkan mereka memprotes kesombongan, kesesatan dan kerusakannya serta berharap agar ia menafkahkan hartanya di jalan Allah dan memberikan kontribusi kepada hamba-hamba Allah yang lain.Adapun kelompok kedua adalah yang terpukau dan tertipu oleh harta Qarun karena mereka telah kehilangan tolok ukur nilai, landasan dan fondasi yang dapat digunakan untuk menilai Qarun dan hartanya. Mereka menganggap bahwa kekayaan Qarun merupakan bukti keridhaan dan kecintaan Allah kepadanya. Maka mereka berangan-angan ingin bernasib seperti itu.

Qarun mabuk dan terlena oleh melimpahnya darta dan kekayaan. Semua itu membuatnya buta dari kebenaran dan tuli dari nasihat-nasihat orang mukmin. Ketika mereka meminta Qarun untuk bersyukur kepada Allah atas sedala nikmat harta kekayaan dan memintanya untuk memanfaatkan hartanya dalam hal yang bermanfaat,kabaikan dan hal yang halal karena semua itu adalah harta Allah, ia justru menolak seraya mengatakan “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”

Suatu hari, keluarlah ia kepada kaumnya dengan kemegahan dan rasa bangga, sombong dan congkaknya. Maka hancurlah hati orang fakir dan silaulah penglihatan mereka seraya berkata, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.”Akan tetapi orang-orang mukmin yang dianugerahi ilmu menasihati orang-orang yang tertipu seraya berkata, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh….”

Berlakulah sunnatullah atasnya dan murka Allah menimpanya. Hartanya menyebabkan Allah murka, menyebabkan dia hancur, dan datangnya siksa Allah. Maka Allah membenamkan harta dan rumahnya kedalam bumi, kemudian terbelah dan mengangalah bumi, maka tenggelamlah ia beserta harta yang dimilikinya dengan disaksikan oleh orang-orang Bani Israil. Tidak seorangpun yang dapat menolong dan menahannya dari bencana itu, tidak bermanfaat harta kekayaan dan perbendaharannya.

Tatkala Bani Israil melihat bencana yang menimpa Qarun dan hartanya, bertambahlah keimanan orang-orang yang beriman dan sabar. Adapaun mereka yang telah tertipu dan pernah berangan-angan seperti Qarun, akhirnya mengetahui hakikat yang sebenarnya dan terbukalah tabir, lalu mereka memuji Allah karena tidak mengalami nasib seperti Qarun. Mereka berkata, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).”

PENYEBUTAN QARUN DALAM QURAN

Nama Qarun diulang sebanyak empat kali dalam Al-Quran, dua kali dalam surah al-Qashash, satu kali dalam surah al-`Ankabut, dan satu kali dalam surah al-Mu’min.Penyebutan dalam surah al-`Ankabut pada pembahasan singkat tentang pendustaan oleh tiga orang oknum thagut, yaitu Qarun,Fir’aun, dan Haman, lalu Allah menghancurkan mereka.

“Dan (juga) Qarun, Fir’aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi, mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu, kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (al-`Ankabut: 39-40)

Penyebutan dalam surah al-Mu’min (Ghafir) pada kisah pengutusan Musa a.s. kepada tiga orang thagut yang mendustakannya.”Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Fir’aun, Haman, dan Qarun, maka mereka berkata, `(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.’” (al-Mu’min:23-24)

Sumber

FULL STORY >>

Tentang Taubat

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat, maka Allah menerima taubatnya orang itu.” (Riwayat Muslim)

Allah berfirman : "Wahai Daud, pengaduan orang yg berdosa (lalu bertaubat) lebih Aku sukai dari teriakan orang yg beribadat"

Orang yg bertaubat itu kekasih Allah&orang yg bertaubat itu spt org yg tdk mempunyai dosa. | HR. Ibnu Majah

Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang2 yg taubat dan menyukai orang2 yg mensucikan diri. | QS Al Baqarah

Sesungguhnya kebaikan2 itu membersihkan kejahatan2 sebagaimana air membersihkan kotoran. | HR Abu Na'im

“Andaikata seorang anak Adam – yakni manusia – itu memiliki selembah emas, ia tentu menginginkan memiliki dua lembah dan samasekali tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah – yaitu setelah mati – dan Allah menerima taubat kepada orang yang bertaubat.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu membentangkan tanganNya – yakni kerahmatanNya -di waktu malam untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu siang dan juga membentangkan tanganNya di waktu siang untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu malam. Demikian ini terus menerus sampai terbitnya matahari dari arah barat – yakni di saat hampir tibanya hari kiamat, kerana setelah ini terjadi, tidak diterima lagi taubatnya seseorang.” (Riwayat Muslim)

Dari Abu Nujaid (dengan dhammahnya nun dan fathahnya jim) yaitu lmran bin Hushain al-Khuza’i radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam keadaan hamil karena perbuatan zina.
Kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu perbuatan yang harus dikenakan had – hukuman – maka tegakkanlah had itu atas diriku.” Nabiyullah s.a.w. lalu memanggil wali wanita itu lalu bersabda: “Berbuat baiklah kepada wanita ini dan apabila telah melahirkan – kandungannya, maka datanglah padaku dengan membawanya.”
Wali tersebut melakukan apa yang diperintahkan. Setelah bayinya lahir – lalu beliau s.a.w. memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita itu diikatlah pada pakaiannya, kemudian dirajamlah. Selanjutnya Beliau s.a.w. menyembahyangi jenazahnya.
Umar berkata pada beliau: “Apakah Tuan menyembahyangi jenazahnya, ya Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?” Beliau s.a.w. bersabda: “Ia telah bertaubat benar-benar, andaikata taubatnya itu dibagikan kepada tujuhpuluh orang dari penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah engkau menemukan seseorang yang lebih utama dari orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata kerana mencari keridhaan Allah ‘Azzawajalla.” (Riwayat Muslim)

Taubat berarti kembali. Sebuah perasaan takut kepada Allah Subhaanahu wa taala yang mendorong perasaan hamba untuk kembali kepada-Nya. Orang yang bertaubat, dialah orang yang takut, menyesal, dan ingin kembali.

Ia menyucikan diri dari segala dosa dan maksiat, lalu kembali pada Allah Subhaanahu Wa Taala dengan segala kesadaran. Ia akan berkata, “Ya Rabbku, dosa yang kulakukan selama bertahun-tahun ini akan kuhentikan, karena cinta dan taatku pada-Mu.” Itulah taubat. Kita tinggalkan maksiat, dan kembali ke jalan-Nya.


Mengapa Bertaubat?
Sejatinya, ketika jiwa kita merasakan urgensi taubat, maka kita harus mengerti garis start-nya. Untuk memulainya, kita harus memahami kedudukan kita di hadapan Allah I. Harus kita sadari berapa banyak kita melanggar hak Allah. Saat kita mulai menyadari, hati ini seakan terasa diperas. Ia seolah terbakar, hingga mulut kita pun bergumam, “Aku harus bertaubat!”

Kita bertaubat dari dosa besar! Mungkin Anda akan mengatakan, “Aku melakukan dosa besar? Bagaimana mungkin? Seperti apa?”

Saudaraku! Bukankah mengakhirkan shalat—tanpa udzur—itu dosa besar? Bukankah lalai dalam shalat itu dosa besar? Allah Subhaanahu Wa Taala berfirman, artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya.” (QS. Al Mâ’ûn: 4-5).

Celaka! Celaka bagi yang melalaikan shalatnya. Ibnu Abbâs Radhiyallahu Anhu berkata, “Mereka yang melalaikan shalat itu adalah orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya.”

Apakah kita tahu, betapa kita sangat membutuhkan taubat? Kita butuh bertaubat dari shalat yang diakhirkan, bertaubat dari kebiasaan melaksanakan shalat subuh setelah matahari terbit. Bertaubat dari kedurhakaan kepada kedua orang tua. Bukankah itu dosa besar?

Selanjutnya, apa pendapat kita tentang pengantar zina? Itu dosa besar! Lalu apa yang mendahului zina itu? Zina mata. Menonton saluran parabola yang menyuguhkan film porno, atau menjelajahi situs-situs blue di internet. Bukankah semua itu pengantar zina? Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Dan zina mata adalah melihat.” (HR. Bukhârî dan Muslim).

Untuk Muslimah yang belum menutup aurat, berapa helai rambutmu yang terlihat? Berapa bagian tubuhmu yang tersingkap? Apakah Anda tidak perduli dengan aurat yang terlihat itu? Padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda tentang wanita-wanita yang membuka auratnya, “Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium baunya. Sesungguhnya bau surga itu tercium dari jarak perjalanan begini dan begini.” (HR. Muslim).

Bukankah itu dosa? Setiap kali orang melihat aurat Anda, maka Anda akan mengambil bagian dosa. Berapakah orang yang melihat Anda? Berjuta dosa dilakukan setiap hari! Bagaimana kita akan menghadap Allah Subhaanahu Wa Taala ? Demi Allah, bila kita menghitung dosa selama sebulan, tentu akan sebesar gunung.

Sufyân Ats-Tsaurî—rahimahullâh—berkata, “Suatu hari aku duduk-duduk menghitung dosa-dosaku. Lalu aku berkata pada diriku, “Kau akan bertemu Allah, wahai Sufyân, Dia akan menanyakan padamu dosa demi dosa.”

Bayangkanlah, siapakah Sufyân? Ia seorang imam atba’ tâbi’în yang sholeh. Lalu berapa kali kita menghitung dosa yang kita lakukan?

Ia berkata lagi pada dirinya, “Inikah yang kau ingat, wahai Sufyân? Bagaimanakah yang Allah ingat, dan kau melupakannya? Bertaubatlah sebelum engkau bertemu Allah Subhaanahu Wa Taala.”

Taubat, Jalan Pintas Menebus Dosa
Ketika saat berumur 15 tahun, kita durhaka kepada kedua orang tua. Lalu pada saat berumur 30 tahun, dosa itu kita tinggalkan. Apakah dosa kita telah diampuni, dihapus, atau dilenyapkan untuk selamanya? Benar, kita telah menghentikan dosa, tapi sudahkah kita bertaubat? Jika belum, berarti kita belum diampuni. Ini merupakan kaedah penting, tetapi manusia sering melupakan.

Bayangkan, di hari kiamat kita menghadap Allah Subhaanahu Wa Taala dan ditanya dosa yang telah kita tinggalkan selama sepuluh tahun, dan kita pun telah melupakannya. Lalu kita menjawab, “Wahai Tuhanku, aku telah meninggalkan dosa itu, aku telah melupakannya. ” Tetapi sudahkah ia bertaubat? Belum! Maka firman Allah (artinya), “Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan- Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Mahamenyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Mujâdalah: 6).

Allah Subhaanahu Wa Taala juga berfirman (artinya), “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al Kahfî: 49).

Perhatikanlah pula firman Allah berikut ini, artinya: “Katakanlah, “Hai hamba-hamba- Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az-Zumar: 53-55).
Marilah kita bertaubat, “Supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, “Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik”. QS. Az-Zumar: 58).

Perhatikanlah ayat berikut ini (artinya), “Dan pada hari kiamat, kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (QS. Az-Zumar: 60).

Di hari kiamat, kita akan melihat wajah hitam orang yang enggan bertaubat dan tunduk pada Allah Subhaanahu Wa Taala. Perhatikanlah, mengapa mereka dikatakan orang sombong? Karena ia enggan bertaubat. Padahal Allah Subhaanahu Wa Taala berjanji akan mengampuni segala macam dosa. Betapa kesombongan telah menghancurkannya karena menolak taubat.

Kemudian, resapilah keindahan susunan Al Qur’an ini: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222).

Renungkanlah, Allah Subhaanahu Wa Taala akan mencintai kita, kalau kita mau bertaubat. Allah Subhaanahu Wa Taala berfirman (artinya), “Dan Allah hendak menerima taubatmu….” (QS. An-Nisâ: 72).

Lihatlah! Apa yang Allah inginkan dari diri kita? “Dan Allah hendak menerima taubatmu….” Allah menghendaki manusia bertaubat, tetapi pengikut hawa nafsu enggan bertaubat.
Jika kita enggan bertaubat, maka Allah Subhaanahu Wa Taala akan menegur, “Dan barangsiapa tidak mau bertaubat, maka ia termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Al Hujurât: 11).

Allah Subhaanahu Wa Taala juga telah berfirman (artinya), “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.” (QS. Ali ‘Imrân: 133).

Mayoritas dari penghuni neraka adalah orang-orang yang gemar menunda-nunda. Mereka mengatakan, “Insya Allah, aku akan mengenakan jilbab setelah kuliah.” Atau, “Insya Allah, setelah aku menikah nanti, aku akan tekun mengerjakan shalat dan meninggalkan minuman-minuman keras.”

Ia katakan insya Allah, lalu berdusta. Ini adalah menunda-nunda. Menunda-nunda adalah tentara Iblis untuk menggelincirkan manusia. Maka, bersegeralah menuju rahmat Allah, bertaubat dan hidup dalam naungan-Nya. Bertaubatlah, karena jeritan penghuni neraka bukan hanya karena pedihnya siksa api neraka, tetapi juga karena keengganan manusia untuk bertaubat.

Hadits-hadits Taubat
Marilah kita renungkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, melihat-lihat keindahan dan kemudahan Islam, sehingga kita tidak akan lagi mendengar kekerasan, kegarangan, kesusahan, maupun kepelikan yang sering disematkan kepada ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Wahai manusia, minta ampunlah pada Tuhan kalian, dan bertaubatlah. Maka aku meminta ampun dan bertaubat pada Allah seratus kali setiap hari.” (HR. Bukhârî dan Muslim).

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam meminta ampun dan bertaubat setiap hari seratus kali. Sedangkan kita, selama sepuluh tahun tidak pernah bertaubat sama sekali. Rasul yang ma’shûm, terjaga dari maksiat, bertaubat seratus kali setiap hari? Bertaubat dari apa? Derajat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam telah tinggi di sisi Allah, dan ia ingin mengangkat derajatnya dengan cinta dan ma’rifat Allah Subhaanahu Wa Taala.

Apakah kita ingat, kapan terakhir kali kita bertaubat? Sudahkah kita mengulangi taubat itu lagi atau belum?

Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sungguh, Allah membentangkan tangan-Nya setiap malam, agar orang yang berbuat kejelekan di siang hari mau bertaubat. Dan Dia juga membentangkan tangan-Nya di siang hari, agar orang yang berbuat kejelekan di malam hari mau bertaubat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Sebuah Kisah
Di zaman Nabi Musa Alaihissalam, terjadi masa paceklik. Manusia dan hewan kehausan, dan hampir mati, karena sedikitnya persediaan air. Mereka lelah hingga berkata, “Wahai Musa, serulah Allah, dan mintalah agar hujan diturunkan!” Nabi Musa pun mengumpulkan mereka di satu tanah lapang, lalu ia berdoa kepada Allah. Mereka pun mengamini doa beliau, tetapi hujan tak kunjung turun. Akhirnya, ia pun berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak mau menurunkan hujan, padahal kami telah berdoa dan menghinakan diri pada-Mu?”

Allah Subhaanahu Wa Taala menjawab, “Wahai Musa, di antara kalian ada seorang yang berbuat maksiat selama empat puluh tahun, ia belum bertaubat. Maka ia menghalangi terkabulnya doa kalian.” Lalu Musa bertanya, “Lalu apa yang harus kami lakukan?” Allah Subhaanahu Wa Taala menjawab, “Keluarkanlah orang yang berbuat maksiat itu! Jika orang itu keluar dari barisan kalian, hujan akan turun.” Nabi Musa Alaihisslam pun berkata, “Aku minta kalian bersumpah pada Allah. Aku bersumpah pada Allah, di antara kita ada yang bermaksiat selama empat puluh tahun, hingga hujan tidak turun-turun, maka hendaklah ia mau keluar dari barisan.”

Orang yang berbuat maksiat itu menoleh ke kanan dan ke kiri, sekiranya ada yang keluar selain dia. Tetapi tidak ada seorang pun yang keluar. Tahulah ia kalau yang dimaksud adalah dirinya. Lalu ia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah berbuat maksiat selama empat puluh tahun, dan Engkau berkenan menutupinya. Ya Tuhanku, jika aku keluar, maka namaku akan tercemar. Dan jika aku tetap tinggal, maka hujan tidak akan turun. Ya Tuhanku, aku sekarang bertaubat pada-Mu, aku menyesal, aku kembali pada-Mu. Maka ampunilah aku dan tutupilah kejelekanku. “

Hujan pun turun, akan tetapi orang yang berbuat maksiat itu tidak keluar dari barisan. Akhirnya, Nabi Musa u bertanya, “Ya Tuhanku, hujan telah turun, dan orang itu belum keluar?” Allah Subhaanahu Wa Taala menjawab, “Ya Musa, hujan telah turun dengan taubat hamba-Ku yang telah bermaksiat selama empat puluh tahun.”
Nabi Musa bertanya lagi, “Ya Tuhanku, tunjukkan orang itu padaku agar aku bergembira dengannya.” Allah menjawab, “Wahai Musa, ia telah bermaksiat kepada-Ku selama empat puluh tahun, dan aku telah menutupinya. Lalu apakah Aku akan membukanya padamu, mencemarkan namanya, padahal ia telah kembali pada-Ku?”

Sumber: Hati Sebening Mata Air, karya Amru Khalid dll...

FULL STORY >>

8 Nasihat Nabi Idris AS

Nabi Idris a.s adalah keturunan keenam Nabi Adam, putera dari Yazid bin Mihla'iel bin Qoinan bin Anusy bin Syith bin Adam a.s dan dia adalah keturunan pertama yang dikurniakan kenabian setelah Adam dan Syith.
Nabi Idris a.s mengikut sementara riwayat bermukim di Mesir, di mana ia berdakwah untuk agama Allah mengajarkan tauhid dan beribadah menyembah Allah serta memberi beberapa pedoman hidup bagi pengikut-pengikut agar menyelamatkan diri dari siksaan di akhirat dan kehancuran serta kebinasaan di dunia. Ia hidup sampai berusia 82 tahun.

Di antara beberapa nasihat ialah :

  1. Kesabaran yang disertai iman kepada Allah memebawa kemenangan.
  2. Orang yang bahagia adalah orang yang merendah diri dan mengharapkan syafaat dari Tuhannya dengan amal-amal solehnya.
  3. Bila kamu memohon sesuatu daripada Allah dan berdoa, maka ikhlaskanlah niatmu. Demikian pula puasa dan sembahnyangmu.
  4. Janganlah bersumpah dengan keadaan kamu berdusta dan janganlah menuntut sumpah dari orang yang berdusta agar kamu tidak menyekutui mereka dalam dosa.
  5. Bertaatlah kepada raja-rajamu dan tunduklah kepada pembesar-pembesarmu serta penuhilah selalu mulut-mulutmu dengan ucapan syukur dan puji kepada Allah.
  6. Janganlah mengiri orang yang mujur nasibnya kerana mereka tidak akan banyak dan lama menikmati kemujuran nasibnya.
  7. Barangsiapa melampaui kesederhanaan, tidak suatupun akan memuaskannya.
  8. Tanpa membahagi-bahagikan nikmat yang diperolehi, seseorang tidak dapat bersyukur kepada Allah atau nikmat-nikmat yang diperolehinya itu.
Sumber

FULL STORY >>

Abu Bakar Sang Pemberani

Al Bazzar meriwayatkan dalam kitab Masnadnya dari Muhammad bin Aqil katanya, "Pada suatu hari Ali bin Abi Talib pernah berkhutbah di hadapan kaum Muslimin dan beliau berkata, "Hai kaum Muslimin, siapakah orang yang paling berani ?"
Jawab mereka, "Orang yang paling berani adalah engkau sendiri, hai Amirul Mukminin."
Kata Ali, "Orang yang paling berani bukan aku tapi adalah Abu Bakar. Ketika kami membuatkan Nabi gubuk di medan Badar, kami tanyakan siapakah yang berani menemankan Rasulullah s.a.w dalam gubuk itu dan menjaganya dari serangan kaum Musyrik ? Di saat itu tiada seorang pun yang bersedia melainkan Abu Bakar sendiri. Dan beliau menghunus pedangnya di hadapan Nabi untuk membunuh siapa sahaja yang mendekati gubuk Nabi s.a.w. Itulah orang yang paling berani."

"Pada suatu hari juga pernah aku menyaksikan ketika Nabi sedang berjalan kaki di kota Mekah, datanglah orang Musyrik sambil menghalau beliau dan menyakiti beliau dan mereka berkata, "Apakah kamu menjadikan beberapa tuhan menjadi satu tuhan ?" Di saat itu tidak ada seorang pun yang berani mendekat dan membela Nabi selain Abu Bakar. Beliau maju ke depan dan memukul mereka sambil berkata, "Apakah kamu hendak membunuhorang yang bertuhankan Allah ?"
Kemudian sambil mengangkat kain selendangnya beliau mengusap air matanya. Kemudian Ali berkata, "Adakah orang yang beriman dari kaum Firaun yang lebih baik daripada Abu Bakar ?" Semua jamaah diam sahaja tidak ada yang menjawab. Jawab Ali selanjutnya, "Sesaat dengan Abu Bakar lebih baik daripada orang yang beriman dari kaum Firaun walaupun mereka sepuluh dunia, kerana orang beriman dari kaum Firaun hanya menyembunyikan imannya sedang Abu Bakar menyiarkan imannya."

Sumber

FULL STORY >>

Kisah Salman Al-Farisy

Jumat

Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Kata Salman, “Saya pemuda Parsi, penduduk kota Isfahan, berasal dari desa Jayyan. Ayahku pemimpin Desa. Orang terkaya dan berkedudukan tinggi di situ. Aku adalah insan yang paling disayangi ayah sejak dilahirkan. Kasih sayang beliau semakin bertambah seiring dengan peningkatan usiaku, sehingga karena teramat sayang, aku dipingit di rumah seperti anak gadis. Aku mengabdikan diri dalam Agama Majusi (yang dianut ayah dan bangsaku). Aku ditugaskan untuk menjaga api penyembahan kami supaya api tersebut sentiasa menyala. Ayahku memiliki kebun yang luas, dengan hasil yang banyak Karena itu beliau menetap di sana untuk mengawasi dan memungut hasilnya.

Pada suatu hari ayahku pulang ke desa untuk menyelesaikan suatu urusan penting. Beliau berkata kepadaku, “Hai anakku! Bapak sekarang sangat sibuk. Karena itu pergilah engkau mengurus kebun kita hari ini menggantikan Bapak.”

Aku pergi ke kebun kami. Dalam perjalanan ke sana aku melalui sebuah gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka sedang sembahyang. Suara itu sangat menarik perhatianku. Sebenarnya aku belum mengerti apa-apa tentang agama Nasrani dan agama-agama lain. Karena selama ini aku dikurung bapak di rumah, tidak boleh bergaul dengan siapapun. Maka ketika aku mendengar suara mereka, aku tertarik untuk masuk ke gereja itu dan mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Aku kagum dengan cara mereka bersembahyang dan ingin menyertainya.

Kataku, “Demi Allah! ini lebih bagus daripada agama kami.” Aku tidak beranjak dari gereja itu sehinggalah petang. Sehingga aku terlupa untuk ke kebun. Aku bertanya kepada mereka, “Dari mana asal agama ini?”

“Dari Syam (Syria),” jawab mereka.

Setelah hari senja, barulah aku pulang. Bapak bertanyakan urusan kebun yang ditugaskan beliau kepadaku.

Jawabku, “Wahai, Bapa! Aku bertemu dengan orang sedang sembahyang di gereja. Aku kagum melihat mereka sembahyang. Belum pernah aku melihat cara orang sembahyang seperti itu. Karena itu aku berada di gereja mereka sampai petang.”

Bapa menasihati akan perbuatanku itu.

Katanya, “Hai, anakku! Agama Nasrani itu bukan agama yang baik. Agamamu dan agama nenek moyangmu (Majusi) lebih baik dari agama Nasrani itu!”

Jawabku, “Tidak! Demi Allah! Sesungguhnya agama merekalah yang lebih baik dari agama kita.”

Bapak kuatir dengan ucapanku itu. Dia takut kalau aku murtad dari agama Majusi yang kami anuti. Karena itu dia mengurungku dan membelenggu kakiku dengan rantai. Ketika aku beroleh kesempatan, kukirim surat kepada orang-orang Nasrani minta tolong kepada mereka untuk memaklumkan kepadaku andai ada kafilah yang akan ke Syam supaya memberitahu kepadaku. Tidak berapa lama kemudian, datang kepada mereka satu kafilah yang hendak pergi ke Syam. Mereka memberitahu kepadaku. Maka aku berusaha untuk membebaskan diri dari rantai yang membelengu diriku dan melarikan diri bersama kafilah tersebut ke Syam.

Sampai di sana aku bertanya kepada mereka, “Siapa kepala agama Nasrani di sini?”


“Uskup yang menjaga “jawab mereka.


Aku pergi menemui Uskup seraya berkata kepadanya, “Aku tertarik masuk agama Nasrani. Aku bersedia menjadi pelayan anda sambil belajar agama dan sembahyang bersama-sama anda.”


‘Masuklah!” kata Uskup.


Aku masuk, dan membaktikan diri kepadanya sebagai pelayan.

Setelah beberapa lama aku berbakti kepadanya, tahulah aku Uskup itu orang jahat. Dia menganjurkan jama’ahnya bersedekah dan mendorong umatnya beramal pahala. Bila sedekah mereka telah terkumpul, disimpannya saja dalam perbendaharaannya dan tidak dibagi-bagikannya kepada fakir miskin sehingga kekayaannya telah berkumpul sebanyak tujuh peti emas. Aku sangat membencinya karena perbuatannya yang mengambil kesempatan untuk mengumpul harta dengan duit sedekah kaumnya. Tidak lama kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani berkumpul hendak menguburkannya.


Aku berkata kepada mereka, ‘Pendeta kalian ini orang jahat. Dianjurkannya kalian bersedekah dan digembirakannya kalian dengan pahala yang akan kalian peroleh. Tapi bila kalian berikan sedekah kepadanya disimpannya saja untuk dirinya, tidak satupun yang diberikannya kepada fakir miskin.”


Tanya mereka, “Bagaimana kamu tahu demikian?”


Jawabku, “Akan kutunjukkan kepada kalian simpanannya.”


Kata mereka, “Ya, tunjukkanlah kepada kami!”


Maka kuperlihatkan kepada mereka simpanannya yang terdiri dari tujuh peti, penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka saksikan semuanya, mereka berkata, “Demi Allah! Jangan dikuburkan dia!”


Lalu mereka salib jenazah uskup itu, kemudian mereka lempari dengan batu.

Sesudah itu mereka angkat pendeta lain sebagai penggantinya. Akupun mengabdikan diri kepadanya. Belum pernah kulihat orang yang lebih zuhud daripadanya. Dia sangat membenci dunia tetapi sangat cinta kepada akhirat. Dia rajin beribadat siang malam. Karena itu aku sangat menyukainya, dan lama tinggal bersamanya. Ketika ajalnya sudah dekat, aku bertanya kepadanya, “Wahai guru! Kepada siapa guru mempercayakanku seandainya guru meninggal. Dan dengan siapa aku harus berguru sepeninggalan guru?”


Jawabnya, “Hai, anakku! Tidak seorang pun yang aku tahu, melainkan seorang pendeta di Mosul, yang belum merubah dan menukar-nukar ajaran-ajaran agama yang murni. Hubungi dia di sana!”

Maka tatkala guruku itu sudah meninggal, aku pergi mencari pendeta yang tinggal di Mosul. Kepadanya kuceritakan pengalamanku dan pesan guruku yang sudah meninggal itu.


Kata pendeta Mosul, “Tinggallah bersama saya.”


Aku tinggal bersamanya. Ternyata dia pendeta yang baik. Ketika dia hampir meninggal, aku berkata kepadanya, “Sebagaimana guru ketahui, mungkin ajal guru sudah dekat. Kepada siapa guru mempercayai seandainya guru sudah tiada?”


Jawabnya, “Hai, anakku! Demi Allah! Aku tak tahu orang yang seperti kami, kecuali seorang pendeta di Nasibin. Hubungilah dia!”

Ketika pendeta Mosul itu sudah meninggal, aku pergi menemui pendeta di Nasibin. Kepadanya kuceritakan pengalamanku serta pesan pendeta Mosul. Kata pendeta Nasibin, “Tinggallah bersama kami!”


Setelah aku tinggal di sana, ternyata pendeta Nasibin itu memang baik. Aku mengabdi dan belajar dengannya sehinggalah beliau wafat. Setelah ajalnya sudah dekat, aku berkata kepadanya, “Guru sudah tahu perihalku maka kepada siapa harusku berguru seandainya guru meninggal?”


Jawabnya, “Hai, anakku! Aku tidak tahu lagi pendeta yang masih memegang teguh agamanya, kecuali seorang pendeta yang tinggal di Amuria. Hubungilah dia!”

Aku pergi menghubungi pendeta di Amuria itu. Maka kuceritakan kepadanya pengalamanku. Katanya, “Tinggallah bersama kami!”.


Dengan petunjuknya, aku tinggal di sana sambil mengembala kambing dan sapi. Setelah guruku sudah dekat pula ajalnya, aku berkata kepadanya, “Guru sudah tahu urusanku. Maka kepada siapakah lagi aku akan anda percayai seandainya guru meninggal dan apakah yang harus kuperbuat?”


Katanya, “Hai, anakku! Setahuku tidak ada lagi di muka bumi ini orang yang berpegang teguh dengan agama yang murni seperti kami. Tetapi sudah hampir tiba masanya, di tanah Arab akan muncul seorang Nabi yang diutus Allah membawa agama Nabi Ibrahim. Kemudian dia akan berpindah ke negeri yang banyak pohon kurma di sana, terletak antara dua bukit berbatu hitam. Nabi itu mempunyai ciri-ciri yang jelas. Dia mau menerima dan memakan hadiah, tetapi tidak mau menerima dan memakan sedekah. Di antara kedua bahunya terdapat tanda kenabian. Jika engkau sanggup pergilah ke negeri itu dan temuilah dia!”

Setelah pendeta Amuria itu wafat, aku masih tinggal di Amuria, sehingga pada suatu waktu segerombolan saudagar Arab dan kabilah “Kalb” lewat di sana. Aku berkata kepada mereka, “Jika kalian mau membawaku ke negeri Arab, aku berikan kepada kalian semua sapi dan kambing-kambingku.”


Jawab mereka, “Baiklah! Kami bawa engkau ke sana.”


Maka kuberikan kepada mereka sapi dan kambing peliharaanku semuanya. Aku dibawanya bersama-sama mereka. Sesampainya kami di Wadil Qura aku ditipu oleh mereka. Aku dijual kepada seorang Yahudi. Maka dengan terpaksa aku pergi dengan Yahudi itu dan berkhidmat kepadanya sebagai hamba.

Pada suatu hari anak saudara majikanku datang mengunjunginya, iaitu Yahudi Bani Quraizhah, lalu aku dibelinya dari majikanku. Aku berpindah ke Yastrib dengan majikanku yang baru ini. Di sana aku melihat banyak pohon kurma seperti yang diceritakan guruku, Pendeta Amuria. Aku yakin itulah kota yang dimaksud guruku itu. Aku tinggal di kota itu bersama majikanku yang baru.

Ketika itu Nabi yang baru diutus sudah muncul. Tetapi baginda masih berada di Makkah menyeru kaumnya. Namun begitu aku belum mendengar apa-apa tentang kehadiran serta da’wah yang baginda sebarkan karena aku terlalu sibuk dengan tugasku sebagai hamba. Tidak berapa lama kemudian, Rasulullah saw. berpindah ke Yastrib.

Demi Allah! Ketika itu aku sedang berada di puncak pohon kurma melaksanakan tugas yang diperintahkan majikanku. Dan majikanku itu duduk di bawah pohon. Tiba-tiba datang anak saudaranya mengatakan, “Biar mampus Bani Qaiah! (kabilah Aus dan Khazraj).


Demi Allah! Sekarang mereka berkumpul di Quba’ menyambut kedatangan lelaki dari Makkah yang mendakwa dirinya Nabi.”


Mendengar ucapannya itu badanku terasa panas dingin seperti demam, sehingga aku menggigil karenanya. Aku kuatir akan jatuh dan tubuhku akan menimpa majikanku. Aku segera turun dari puncak ponon, lalu bertanya kepada tamu itu, “Apa kabar anda? Cubalah khabarkan kembali kepadaku!”


Majikanku marah dan memukulku seraya berkata, “Ini bukan urusanmu! Kerjakan tugasmu kembali!”

Keesokannya aku mengambil buah kurma seberapa banyak yang mampu kukumpulkan. Lalu kubawa ke hadapan Rasulullah saw.. Kataku “Aku tahu tuan orang soleh. Tuan datang bersama-sama sahabat tuan sebagai perantau. Inilah sedikit kurma dariku untuk sedekahkan kepada tuan. Aku lihat tuanlah yang lebih berhak menerimanya daripada yang lain-lain.” Lalu aku hulurkan kurma itu ke hadapannya. Baginda berkata kepada para sahabatnya, “silakan kalian makan,…!”


Tetapi baginda tidak menyentuh sedikit pun makanan itu apalagi untuk memakannya. Aku berkata dalam hati, “Inilah satu di antara ciri cirinya!”

Kemudian aku pergi meninggalkannya dan kukumpulkan pula sedikit demi sedikit kurma yang terdaya kukumpulkan. Ketika Rasulullah saw. pindah dari Quba’ ke Madinah, kubawa kurma itu kepada baginda. Kataku, “Aku lihat tuan tidak mahu memakan sedekah. Sekarang kubawakan sedikit kurma, sebagai hadiah untuk tuan.”


Rasulullah saw. memakan buah kurma yang kuhadiahkan kepadanya. Dan baginda mempersilakan pula para sahabatnya makan bersama-sama dengannya. Kataku dalam hati, “ini ciri kedua!”

Kemudian kudatangi baginda di Baqi’, ketika baginda menghantar jenazah sahabat baginda untuk dimakamkan di sana. Aku melihat baginda memakai dua helai kain. Setelah aku memberi salam kepada baginda, aku berjalan mengekorinya sambil melihat ke belakang baginda untuk melihat tanda kenabian yang dikatakan guruku. Agaknya baginda mengetahui maksudku. Maka dijatuhkannya kain yang menyelimuti belakangnya, sehingga aku melihat dengan jelas tanda kenabiannya. Barulah aku yakin, dia adalah Nabi yang baru diutus itu. Aku terus memeluk bagindanya, lalu kuciumi dia sambil menangis. Tanya Rasulullah, “Bagaimana khabar Anda?”
Maka kuceritakan kepada beliau seluruh kisah pengalamanku. Beliau kagum dan menganjurkan supaya aku menceritakan pula pengalamanku itu kepada para sahabat baginda. Lalu kuceritakan pula kepada mereka. Mereka sangat kagum dan gembira mendengar kisah pengalamanku.

Berbahagilah Salman Al-Farisy yang telah berjuang mencari agama yang hak di setiap tempat. Berbahagialah Salman yang telah menemukan agama yang hak, lalu dia iman dengan agama itu dan memegang teguh agama yang diimaninya itu. Berbahagialah Salman pada hari kematiannya, dan pada hari dia dibangkitkan kembali kelak.

Salman sibuk bekerja sebagai hamba. Dan karena inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah saw. suatu hari bersabda kepadaku, “Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!” Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah saw. mengumpulkan para sahabat dan bersabda, “Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.” Mereka pun membantuku dengan memberi pohoN (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, setiap orang sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.

Setelah terkumpul Rasulullah saw. bersabda kepadaku, “Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.”


Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah saw. dan memberitahukan perihalku, Kemudian Rasulullah saw. keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma


itu kepada baginda dan Rasulullah saw. pun meletakkannya di tangan baginda. Maka, demi jiwa Salman yang berada di tanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati. Untuk tebusan pohon kurma sudah dipenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah.

Kemudian Rasulullah saw. membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas baginda bersabda, “Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?”


Kemudian aku dipanggil baginda, lalu baginda bersabda, “Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!”


“Wahai Rasulullah saw., bagaimana status emas ini bagiku?” Soalku inginkan kepastian dari Baginda.


Rasulullah menjawab, “Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.”


Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di tanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan. Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah saw. dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.’


(HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabrani dalam al-Kabir(6/222); lbnu Sa’ad dalamath-Thabagat, 4/75; al-Balhaqi dalam al-kubra, 10/323.)

islam2u

FULL STORY >>

Hak Istri Atas Suami

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Saya menikah dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua daripada saya dengan selisih lebih dari dua puluh tahun. Namun, saya tidak menganggap perbedaan usia sebagai penghalang yang menjauhkan saya daripadanya atau membuat saya lari daripadanya. Kalau dia memperlihatkan wajah, lisan, dan hatinya dengan baik sudah barang tentu hal itu akan melupakan saya terhadap perbedaan usia ini. Tetapi sayang, semua itu tak saya peroleh. Saya tidak pernah mendapatkan wajah yang cerah, perkataan manis, dan perasaan hidup yang menenteramkan. Dia tidak begitu peduli dengan keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.

Dia memang tidak bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian, sebagaimana dia juga tidak pernah menyakiti badan saya. Tetapi, tentunya bukan cuma ini yang diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya. Saya melihat posisi saya hanya sebagai objek santapannya, untuk melahirkan anak, atau sebagai alat untuk bersenang-senang manakala ia butuh bersenang-senang. Inilah yang menjadikan saya merasa bosan, jenuh, dan hampa. Saya merasakan hidup ini sempit. Lebih-lebih bila saya melihat teman-teman saya yang hidup bersama suaminya dengan penuh rasa cinta, tenteram, dan bahagia.

Pada suatu kesempatan saya mengadu kepadanya tentang sikapnya ini, tetapi dia menjawab dengan bertanya, "Apakah aku kurang dalam memenuhi hakmu? Apakah aku bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?" Masalah inilah yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz agar suami isteri itu tahu: Apakah hanya pemenuhan kebutuhan material seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal itu saja yang menjadi kewajiban suami terhadap isterinya menurut hukum syara'? Apakah aspek kejiwaan tidak ada nilainya dalam pandangan syari'at Islam yang cemerlang ini? Saya, dengan fitrah saya dan pengetahuan saya yang rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam demikian. Karena itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan aspek psikologis ini dalam kehidupan suami isteri,karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.

Semoga Allah menjaga Ustadz.

JAWABAN

Apa yang dipahami oleh saudara penanya berdasarkan fitrahnya dan pengetahuan serta peradabannya yang rendah itu merupakan kebenaran yang dibawakan oleh syari'at Islam yang cemerlang. Syari'at mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan isterinya yang berupa kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing, atau seperti yang dikatakan oleh Al Qur'an "bil ma'ruf" (menurut cara yang ma'ruf/patut) Namun, Syari'at tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: "Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."

Bahkan Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepadA hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)

Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami isteri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan. Dalam hal ini banyak suami yang keliru - padahal diri mereka sebenarnya baik - ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap isteri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (isteri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.

Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab pergaulan diantara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu.

Diantara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah itu ialah berakhlak yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman: "... Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)

"... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )

"... Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa: 36)

Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri. Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak baik kepada mereka (isteri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah,sebagaimana diteladankan Rasulullah saw. Isteri-isteri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam. Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela."

Aisyah bertanya, "Bagaimana engkau tahu?" Beliau menjawab, "Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Muhammad,' dan bila engkau marah, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah menjawab, "Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu."

Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa disamping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan isteri, juga bercumbu, bergurau,dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah saw. biasa bergurau dengan isteri-isteri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.

Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras itu - pernah berkata, "Seyogyanya sikap suami terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada disisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki."

Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah membenci alja'zhari al-jawwazh," dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap keras terhadap isteri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna firman Allah: 'utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal 'utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya. Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah saw. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan agama, memelihara jama'ah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau tetap sangat memperhatikan para isterinya. Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur'an, dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.

Namun, sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau penuhi. Jadi, aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh. Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:

"Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya ialah bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila isterinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."

Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al Qur'an sedang kepala beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan, pernah juga menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa. Diantara kelemah-lembutan dan akhlak baik beliau lagi ialah beliau memperkenankannya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.

Sabda Nabi saw: "Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku."

Apabila selesai melaksanakan shalat ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) isteri-isterinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu tiba giliran beliau untuk bermalam. Aisyah berkata, "Rasulullah saw. tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap isteri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada isteri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ."1

Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip disini mengenai petunjuk Nabi saw. tentang pergaulan beliau dengan isteri-isteri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan berarti beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.

Beliau mengawini Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan disini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat Nabi saw. selalu ingat aspek tersebut dan senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah melupakannya meskipun tugas yang dipikulnya besar, seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah. "Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu." Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Keterangan:

1 Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.

http://www.islam2u.net/

FULL STORY >>

Kisah Jin Ifrit Mencuri Cincin Nabi Sulaiman as

Salah satu daripada mukjizat yang diberikan oleh Allah swt pada Nabi Sulaiman a.s. adalah tertulis pada cincinnya namanya dan nama Allah swt. Adapun setiap sesuatu yang tertulis padanya nama para Nabi dan nama Allah tidak boleh dibawa ke sebarang tempat seperti tempat-tempat yang hina seumpama tandas, tempat-tempat maksiat dan seumpamanya juga tidak boleh dipakai ketika tidur dan ketika berhadas besar.

Kerajaan Nabi Sulaiman a.s. masyhur serta luas kekuasaannya sehingga anginpun tunduk atas segala perintahnya. Maka ini memudahkan Nabi Sulaiman a.s. untuk pergi ke suatu tempat yang dihajati dengan tidak perlu berkenderaan. Cukup sekadar memerintahkan angin membawanya terbang di atas permaidani sekiranya baginda yang diiringi oleh pembesar-pembesar kerajaannya mahu menziarahi daerah kekuasaan baginda yang luas itu.

Pada suatu hari, Nabi Sulaiman a.s. bersama pembesar-pembesar kerajaannya pergi menziarahi salah sebuah daerah kekuasaan baginda dengan berkenderaan permaidani yang diterbangkan angin sehingga baginda melalui sebuah perkampungan nelayan yang terletak di tepi laut. Ketika itu kelihatan penduduknya sedang menjemur ikan. Di antaranya terdapat gadis-gadis yang turut serta menjemur ikan. Dari kalangan para gadis itu, ada seorang gadis yang amat hitam rupanya dan tidak menarik perhatian kaum lelaki.

Apabila Nabi Sulaiman a.s. dan para pembesarnya melalui tempat itu, maka penduduk kampung menjadi kehairanan kerana tiba-tiba sahaja cuaca menjadi redup. Lalu merekapun mendongak dan mendapati rombongan Nabi Sulaiman a.s. sedang melalui kawasan itu.

Sedang mereka dalam keadaan itu, berkatalah gadis yang hitam rupanya tadi: “Alangkah bahagianya aku sekiranya aku menjadi permaisuri Nabi Sulaiman a.s.”

Apabila teman-temannya yang lain mendengar ucapan gadis itu, mereka lalu mentertawakannya dan mengejeknya dengan kata-kata menghiris hati: “Wahai gadis tidak tahu diri, sesungguhnya hasratmu sekadar impian. Rupamu yang hitam langsung tidak menarik perhatian. Inikan pula mahu bersuamikan Nabi Sulaiman yang hebat kedudukannya. Sedangkan kami yang mempunyai wajah menarik tidak bercita-cita untuk menjadi permaisuri baginda. Apakah engkau tidak sedar bahawa orang-orang lelaki di kampung kita inipun belum tentu mahu beristerikan engkau yang hitam legam lagi tidak menarik hati? Cukuplah engkau berangan-angan!” Riuh rendahlah suara mereka mentertawakan si gadis hitam tadi.

Mendengarkan cemuhan dan hinaan mereka, merasa sayulah hati gadis yang malang itu. Dirinya ibarat pungguk merindukan bulan. Rupa yang buruk tidak dipinta. Akhlah yang baik lebih utama.

Setelah Nabi Sulaiman a.s. bersama pembesar-pembesarnya selesai dari menjelajah ke daerah kekuasaan baginda, merekapun balik ke rumah masing-masing.

Setibanya Nabi Sulaiman a.s. di istananya, baginda berhajat untuk ke tandas. Sebelum itu, baginda melucutkan cincin yang bertuliskan nama Allah dan namanya, lalu diserahkan pada isterinya.

Pada masa itulah datang jin Ifrit menyerupakan dirinya sepertimana Nabi Sulaiman a.s, lalu menemui isteri baginda dan berkata: “Wahai isteriku, ambilkan cincinku tadi.” Tanpa merasa ragu, isteri baginda menyerahkan cincin itu pada Ifrif kerana menyangka dirinya Nabi Sulaiman a.s.

Apabila Nabi Sulaiman a.s. selesai melepaskan hajatnya, baginda meminta dikembalikan cincinnya tetapi isterinya berkata: “Sesungguhnya telah aku kembalikan sebentar tadi.” Nabi Sulaiman a.s. diam kehairanan. Kemudian baginda berkata: “Baru inilah aku meminta kembali cincin itu.” Tetapi isteri baginda tetap mengatakan bahawa ia telah diserahkan.

Nabi Sulaiman a.s. merasa serba salah dan curiga. Kemungkinan cincin itu telah dicuri oleh seorang yang menyamar sebagai diri baginda kerana isterinya tidak mempunyai alasan untuk menyerahkan barang kepunyaannya kepada sesiapapun jua.

Adapun Ifrit setelah ia mencuri cincin tersebut, iapun masuk ke dalam istana kerajaan dan duduk di singgahsana sambil memerintah rakyat Nabi Sulaiman a.s. ke istana dan mendapati seorang yang menyerupai dirinya duduk di atas singgahsana. Maka fahamlah baginda kedudukan perkara.

Lalu baginda berkata: “Wahai rakyatku sekalian, sesungguhnya akulah Sulaiman, raja kamu yang sebenar.”

Jawab rakyatnya: “Tidak, raja itulah yang sedang memberi ucapan. Kamu bukan raja kami. Raja Sulaiman yang sebenar adalah dia yang duduk di kerusi singgahsana. Kamu pendusta!”

Apabila rakyatnya tidak percaya lagi pada baginda, maka baginda pun pergi meninggalkan istana, menuju dari sebuah perkampungan ke perkampungan yang lain dan menyatakan dirinya sebagai Raja Sulaiman tetapi kesemua mereka menafikannya.

Akhirnya baginda pergi ke sebuah kampung nelayan yang terletak di tepi laut, lalu baginda menyatakan hajatnya untuk turut bekerja sebagai nelayan kepada seorang nelayan di tempat itu. Nelayan itu menerima hajat baginda tanpa menyedari bahawa ia sedang berhadapan dengan Raja Sulaiman.

Nabi Sulaiman a.s. menjalani kehidupannya sebagai seorang nelayan dengan baik dan baginda bekerja bersungguh-sungguh tanpat mengenal jemu dan penat sehingga menghasilkan pendaptan yang lumayan dengan nelayan itu.

Pada suatu hari, ketika baginda duduk berehat menunggu waktu makan tengahari, baginda tertidur oleh sebab keletihan.

Tidak lama kemudian, datanglah anak gadis nelayan tersebut membawa makanan tengahari. Berkata si nelayan kepada anaknya: “Wahai anakku, panggillah Sulaiman untuk makan tengahari bersama kita.”

Gadis tersebutpun pergilah mendapatkan baginda yang sedang tidur sambil dikipas oleh seekor ular dengan sehelai daun. Alangkah terkejutnya gadis itu melihat keadaan yang luar biasa ini, lalu segera dikhabarkan kepada ayahnya. Apabila si nelayan menyaksikan sendiri perkara itu, ia pasti baginda bukan sebarangan orang tanpa mengesyaki baginda adalah raja Sulaiman. Mereka meninggalkan baginda sendirian sehingga akhirnya baginda terjaga dari tidurnya dan merekapun menghadapi hidangan tengahari bersama-sama.

Setelah beberapa lama Nabi Sulaiman tinggal nelayan, maka nelayan itu bermaksud untuk mengahwinkan anaknya dengan baginda. Nabi Sulaiman as tidak pula menolak kehendak nelayan itu. Maka hiduplah Nabi Sulaiman a.s. bersama gadis hitam yang pernah bercita-cita untuk menjadi isterinya suatu masa dahulu sebagai suami isteri yang sah tanpa gadis itu menyedari bahawa Tuhan telah menjadikan impiannya suatu kenyataan.
Manakalah di istana yang telah ditinggalkan baginda, Ifrit menyamar sebagai Nabi Sulaiman as memberikan pengajaran yang menyesatkan manusia. Berpunca dari amarannya yang jahat itu, Ifrit tidak sanggup menyimpan cincin baginda yang dicurinya itu, kerana khianatnya cincin itu lalu dicampakkannya ke dalam laut yang kemudiannyaditelan oleh seekor ikan. Ifrit meninggalkan takhta kerajaan. Ketika itulah orang ramai baru menyedari kepalsuan orang yang selama ini mengaku dirinya Raja Sulaiman rupanya jin yang menyamar sebagai baginda.

Segala sesuatu hanya Allah swt yang menentukan.

Sebagaimana biasa, nelayan dan Nabi Sulaiman as keluar menangkap ikan sebagai memenuhi keperluan hidupnya. Kebetulan pada hari itu, masuklah ikan yang menelan cincin Nabi Sulaiman as ke dalam pukat mereka. Menjelang senja, kembalilah mereka ke rumah. Sebahagian daripada ikan yang ditangkap hari itu mereka jemur manakala sebahagian lagi dijadikan hidangan makan malam.

Tatkala isteri baginda menyiang ikan yang akan dimasak malam itu, tiba-tiba ditemui dalam perut ikan itu sebentuk cincin yang bertuliskan nama Nabi Sulaiman as dan nama Allah.

Segeralah isteri baginda mengkhabarkannya. Demi melihat baginda akan cincin itu, baginda terus mengucap syukur sebanyak banyaknya kepada Tuhan kerana haknya telah dikembalikan tanpa ia duga sementara rasa kasih terhadap isterinya semakin bertambah.

Setelah cincin itu disarungkan, barulah rakyat baginda meyakini bahawa baginda adalah sebenarnya Raja Sulaiman.

Nabi Sulaiman as bermaksud untuk kembali ke istana dan melihat keaaan rakyat baginda yang telah lama ditinggalkan. Baginda juga berhasrat untuk membawa isteri baginda bersama-sama tetapi merasa keberatan kerana ditakuti isterinya akan menjadi bahan ejekan berpunca dari kehitaman rupanya itu. Baginda lalu berdoa kepada Allah Taala supaya mengubah rupa isterinya yang hodoh itu menjadi cantik. Doa baginda dimakbulkan sehingga merasa cemburulah teman-teman yang pernah menghina dan mengejek isterinya dahulu.

Baginda beserta isterinya kembali ke istana dengan disambut meriah oleh rakyat jelata yang telah menyedari kesilapan meraka.

Kemudian pada suatu hari, dikumpulkanlah sekalian rakyatnya, baik dari golongan manusia, jin dan juga binatang kerana Nabi Sulaiman ingin mengetahui siapakah yang telah mencuri cincin baginda dan menyesatkan rakyat dengan perbuatan durjana. Sesiapa yang telah melakukan kesalahan pasti takut untuk bertemu dengan baginda.

Setelah sekalian rakyat berkumpul, ternyata yang tidak hadir aalah jin Ifrit. Dengan ini, diisytiharkan bahawa Ifritlah yang telah mencuri cincin baginda. Mendengar kenyataan ini, merasa marahlah golongan jin terhadap Ifrit kerana telah memalukan bangsa mereka di khalayak ramai. Lalu Nabi Sulaiman as memerintahkan beberapa orang bangsa jin untuk menangkap Ifrit. Bangsa jin yang diperintah itu segera pergi mencari tempat persembunyian Ifrit.

Akhirnya ditemui Ifrit bersembunyi di batu karang di dasar lautan. Ifrit lalu dihadapkan kepada Nabi Sulaiman as dan baginda menghukum sesuai dengan kesalahannya

Sumber

FULL STORY >>

Jadwal Imsakiyah Ramadhan 2011

Selasa





Klik Disini Untuk download jadwal Imsakiyah ramadhan tahun 2011

pkpu.or.id


FULL STORY >>

Suara Hati Seorang Ibu

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.
Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.
Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?
Anakku..
Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,
Anakku…
Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…
Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.
Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.
Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.
Anakku…
Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111]
Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.
KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.
Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.
“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.
Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.
Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”.
(Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”.
Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.
KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Sang anak menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai sedekh dariku!”.
Kisah pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku”
Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.
Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?” Beliau bersabda, “Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka” [Hadits Riwayat Muslim]
[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]

FULL STORY >>